Uluran
Tangan
Sari
tampak begitu murung. Tidak seperti biasanya, hari ini ia begitu pendiam. Sifat
dan sikap yang sangat ramah dan sopan membuat teman-temannya ingin mengetahui
penyebab perubahan sikap sari. Sebagai sahabat karibnya, aku juga ingin mengetahui
penyebab kemurungan sari. Setiap hari sabtu, aku biasa mengajak sari
berjalan-jalan bersama ayah, ibu, dan adik-adikku. Ayah dan ibuku sudah
menggangap sari sebagai anaknya sendiri. Ayah sari telah meninggal lima tahun
yang lalu karena sakit kanker paru-paru. Jadi, sekarang ibunyalah yang menopang
kehidupannya bersama dengan keempat adiknya. Akan tetapi, aku sungguh tidak
menyangka peristiwa yang sangat tidak aku inginkan terjadi. Sari menolak
ajakanku dengan kasar dan mengatakan sesuatu yang menyakiti hatiku
“
mulai sekarang, aku tak mau ikut kamu jalan-jalan lagi,” balasnya ketika
kutanya dia mau ikut atau tidak. Aku betul-betul terkejut atas jawaban itu.
Sesampainya
di rumah, aku menceritakan semua peristiwa
yang kualami dan juga perubahan-perubahan yang terjadi pada diri sari
kepad ibuku. Ibu sangat sabar dan bijaksana dalam menghadapi permasalahan.
Karena itulah, setiap kali aku mendapatkan kesulitan, hanya kepada ibuku aku
berkeluh kesah. Ibuku menasehati agar aku menyadari hakl itu.
“
sil, sebaiknya kautanyakan kepada sari, kesulitan apa yang tengah ia hadapi!”
“
apa benar ia mengalami kesulitan, bu ?”
“
ibu rasa demikian, tidak mungkin sari berubah sikap jika tidak ada sesuatu yang
mengganjal di hatinya.”
Betul
juga, baiklah, aku akan mencoba menanyakannya.”
Hari
ini sari tidak masuk sekolah, di dalam suratnya ia sakit. Aku ingin tahu
penyakitnya sehingga sepulang sekolah aku mampir ke rumah sari. Tetapi, begitu
tiba di rumah sari, aku jadi kebingungan, apakah yang sedang terjadi? Dua
hari……tiga hari……..lima hari…… sari tidak masuk sekolah. Sore itu aku baru
pulang dari latihan upacara di sekolah. Aku terkejut ketika melihat sari dengan
seragam sekolah berada di tikungan jalan. Pakaiannya sudah lusuh dan dekil, ia
berdiri lunglai.
“
sar….., sari……!” kucoba memanggilnya kutunggu apakah ia menanggapi panggilanku
atau tidak. “ sil…., silvi……!” suaranya parau dan ia pun menghambur
kepelukanku. Ia menangis, sedih. Aku mecoba membujuknya agar mau ku ajak pulang
ke rumahku. Ia setuju, kusuruh dia mandi kemudian makan. Selanjutnya
menceritakan dari awal sampai akhir. Akhirnya kami tahu bahwa sari belum
membayar uang sekoah dan bu rati member renggang waktu hingga akhir bulan. Akan
tetapi, hingga akhir bulan sari belum sanggup membayar akrena belum mendapatkan
uang. Itu semua yang menyebabkan sari pergi dari rumah dan tidak masuk sekolah.
Ayah dan ibuku menasehati agar sari tidak menggulangi perbuatannya pergi dari
rumah.
“
kasihan ibu dan adik-adikmu!”. Ayah dan ibuku mengangkat sari sebagai anak asuh
dan akan membantu mencukupi kebutuhan keluarganya. Sari menangis haru dan
bahagia. Dipeluknya ibuku dan diciumnya tangan ayahku. Sari memang anak yang
rajin dan pandai, tidak ada salahnya ayah dan ibuku menjadikannya anak asuh.
Malam itu juga, aku, ayah, dan ibuku mengantar sari pulang. Sari dan ibunya
mengucapkan terima kasih kepada ayah dan ibuku serta bersyukur atas pertolongan
Tuhan. Esok harinya, sari sudah kembali masuk ke sekolah dengan wajah
berseri-seri. Bahagia, ya ia amat bahagia. Dalam hatiku pun menguvap syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah mengulurkan pertolongan kepada
hamba-hamba-Nya yang sedang menghadapi cpbaan.
Harapanku,
semoga kami slalu dalam lindungan dan pertolongan-Nya. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar